Senin, 12 Maret 2012

Sang Penjaga,,,


Mengendarai motor bututnya, Mia berjalan melintasi keramaian jalan Kota Yogya menuju alun-alun kidul untuk merefresh setelah seharian berkutat dengan buku dan laptop. Ia berjalan sendiri dan duduk di bawah pohon, dekat Sasono Hinggil. Mia yang selalu sendiri, memanggil seorang tukang siomay dan memesannya. Dinikmatinya siomay tersebut sembari melihat anak-anak bermain sepak bola. Ya, ia sangat menikmati suasana seperti ini, suara tawa anak-anak membuat semua bebannya hilang sejenak. Meskipun memiliki kenangan buruk dengan alkid, Mia masih sering berkunjung ke tempat ini, sekedar untuk melepas lelah dan menikmati keindahan arsitekturnya. Siang hari, dipilihnya sebagai waktu yang nyaman untuk menikmati suasana Alkid, karena biasanya belum begitu ramai seperti ketika malam hari.
Sembari melahap siomay pesanannya, Mia mengobrol dengan si penjual.
“Dah lama jual siomay pak?” tanya Mia
“Sampun mbak, tapi mboten kerep (Sering), tergantung modalle mbak, menawi wonten nggeh kulo sadean” jawab si penjual.
Jawaban penjual siomay membuat Mia semakin penasaran, “Lha, menawi mboten gadhah modal, pripun pak?”
“Nggeh macem-macem mba, biasane ndherek tiyang, sing penting saged angsal arto” jawab tukang siomay.
“Gadhah putra pinten pak?” tanya Mia sembari mengambil tahu di piringnya.
“tigo mba, jaler setunggal, estri kalih. Sing estri sampun rabi sedaya, sakniki teng Jakarta. Sing jaler taksih SMA, kulo pengen nguliahke anak mba, ben dados tiyang bener”
Sejenak Mia melihat pak penjual siomay ini, usianya sekitar 50 tahun, badannya kecil, dan rambut abu-abu nampak semakin banyak di kepalanya, ia tidak menyangka bapak ini punya mimpi yang sangat besar.
“Mba, sakniki kuliah ngantos pinten?” tanyanya padaku.
Mia tak kuasa menjawab pertanyaan pak penjual siomay, tetapi ia melihat ada rasa penasaran yang besar hingga ia harus menjawabnya, “tergantung universitasnya pak, kalau yang negeri ya murah, tapi kalau swasta ya lumayan pak”.
“sing murah ngantos pinten mba, sewulan?”
Aku semakin tertegun mendengar pertanyaan polos bapak ini, begitu besarnya harapan untuk membuat anaknya punya tempat yang baik di masyarakat kelak.
Mia menjawab dengan sederhana “teng kuliahan niku mbayare mboten wulanan pak, tapi enam wulan pisan, biasane nek negeri nggeh 700 ribuan pak”
Mendengar jawaban Mia, raut muka bapak ne berubah, seolah-olah kehilangan mimpi.
Seolah mengetahui perasaan penjual siomay, Mia meneruskan kata-katanya“Tapi biasane kathah beasiswa pak, nah nek angsal beasiswa niku biasane angsal potongan biaya, malahan saged gratis”.
Mendengar kata-kata Mia, bapak penjual siomay kembali tampak sumringah. Ia kembali berkata “wah, nggeh to mbak. Nek wonten beasiswa kulo nggeh ringan mba, lha 700 ribu niku arto sing uakeh sanget kagem kulo, lha wong kerjane kulo mboten mesti koq mba. Nanging kulo niki pengen sanget nyekolahku anak ben dados insinyur, nyuwun pandongane nggeh mba, mugi-mugi gusti Allah ngijabaih” Ucap bapak dengan air muka penuh harap dan semangat. Ia pun bergegas mempersiapkan sepeda tuanya untuk berkeliling kembali mencari seraup materi untuk memenuhi harapannya melihat sang putra memakai toga dan memiliki hidup lebih baik darinya.
“Mba, sampun nggeh, kulo ajeng mados arto riin, matur sembah nuwun nggeh mba”, kata bapak penjual siomay sembari mengambil piring yang kuletakkan di sampingku.
Mia tersenyum, ia merasakan jutaan nikmat yang belum pernah didapatnya dimanapun ia berada. Ya, saat itu dirasakannya kasih sayang luar biasa besar dari Allah SWT. Semua kemarahan yang dirasakannya karena menganggap hidup ini tidak adil, menjadi hilang seketika.
Mia hanya merasakan betapa rindunya ia pada bapak, sosok pelindungnya yang telah pergi beberapa bulan lalu. Ya, ia sangat merindukan pak kumis yang selalu menanyakan, “kapan pulang?” atau “apakah uang sakumu masih ada?”. Pertemuannya dengan penjual siomay, mengembalikan memorinya ketika bapak masih menemaninya. Sesaat ingatan Mia kembali ke beberapa tahun silam, ketika ia masih SMA, sebelum berangkat sekolah, bapak selalu memeriksa ban sepedanya dan di hari minggu selalu mengajaknya berjalan-jalan. Atau, ketika ia sakit, bapak juga tampak resah dengan mencarikan berbagai macam jamu atau mencari dokter spesialis. Bapak, adalah sosok yang jarang menunjukkan kasih sayangnya dengan pelukan dan ciuman. Tetapi, itu bukanlah alasan bahwa ia tidak memilikinya. Ia memiliki cara sendiri untuk menunjukkan kasih sayangnya, tetapi kadang kita tidak pernah mengerti bahwa yang dilakukannya adalah wujud dari kasih sayang mereka.
Mia merasakan sesak di dada dan air matanya turut menetes, ia kembali teringat sang pelindungnya yang selalu menelpon setiap kali ia merindukannya atau ketika ia memiliki masalah. Dirasakannya iri kepada anak penjual siomay yang masih memiliki pelindung............
Though you far away, but i always remember u..when u still beside me, then u leave me...Pa, your Love and Smile always stay and live..I love u My saver...



Yogya, 9 Juni 2011
Ly

Tidak ada komentar: