Selasa, 28 April 2009

LOGIKA DALAM ANALISIS SEJARAH


Sejarah sebagai Idiografis

Tipe ilmu pengetahuan ada 2, yakni nomotetis, yang mencoba untuk membentuk hukum-hukum abstrak umum dalam konteks proses perulangan yang waktunya tidak terbatas; dan idiografi, yang bertujuan untuk memahami keunikan dan kegiatan masa lalu. Seringkali ditegaskan bahwa ilmu alam adalah nomotetis, dan sejarah (dalam pengertian catatan/laporan peristiwa) adalah idiografis; dan konsekuensinya bahwa logika dan struktur konseptual dari pernyataan sejarah adalah benar-benar berbeda dari ilmu-ilmu alam tersebut.

Setiap kali penyelidikan dalam risalah ilmu-ilmu alam dan buku-buku sejarah, mengungkapkan perbedaan diantara keduanya, yakni luasnya pernyataan yang dahulu bentuknya umum (menggeneralisasikan suatu peristiwa), dan yang sedikit banyaknya kandungan isi mengenai masalah-masalah khusus, tempat dan waktu, dimana pada masa belakangan dipenuhi dengan nama-nama, data-data, dan spesifikasi geografi. Dalam perluasannya, muncul dugaan yang kontras antara ilmu alam yang nomotetis dan sejarah yang idiografis dalam membentuk sebuah pernyataan yang tepat. Karenanya, ilmu-ilmu alam murni seringkali menegaskan pendapat umum mereka dalam pembenaran (data) empiris hanya berdasar pada bukti-bukti faktual yang konkrit, dan karena itu hanya dengan mendirikan dan menggunakan bermacam pernyataan tersendiri. Pendeknya, bahwa ilmu alam yang lain adalah diambil sebagai keseluruhan dari subdivisi ilmu teori murni yang lain, yang dapat dipandang sebagai nomotetis eksklusif.

Pembelajaran sejarah lepas dari perkiraan sebuah penerimaan diam-diam dari pendapat umum yang bermacam-macam dalam ilmu alam. Meskipun sejarawan bisa memusatkan perhatian dengan kejadian masa lalu dan unik, ia harus menyeleksi dan mengabstraksikan dari peristiwa-peristiwa konkrit (nyata) yang dipelajarinya, dan diskursusnya tentang apakah kebutuhan dari individual, yang sumbernya diambil dari nama-nama umum dan istilah-istilah deskriptif umum. Seperti karakteristik dan hubungan dengan pengakuan dari berbagai macam jenis atau tipe hal dan peristiwa, dan karenanya dengan pengetahuan yang implisit dari banyaknya data empiris yang beraturan. Sekali lagi, sebuah fase dari tugas sejarawan adalah untuk membuktikan dokumen dan sumber-sumber sisa yang lain dari masa lalu, dan dituntut untuk melaporkannya dalam bentuk pernyataan tegas dengan maksud/penjelasan yang tepat, dari kepercayaan dan kesaksian peristiwa masa lalu. Sebagai eksekusi efektif dari tugas ini adalah kritik ekstern dan kritik intern, karenanya sejarawan harus dilengkapi dengan berbagai macam hukum umum, yang dipinjamnya dari ilmu alam dan ilmu sosial lain. Sejarawan selalu bertujuan untuk menerangkan masa lalu secara lebih kronikel (kronologis), dan berusaha untuk memahami dan memaparkan laporan/catatan kejadian dalam masa tersebut dari sebab dan akibatnya (konsekuensi), mereka harus menyatakan dugaan secara jelas berdasar hukum-hukum yang berkedudukan kuat dari penyebab sebuah ketergantungan (bantuan). Hatta. sejarah bukanlah suatu ilmu idiografis murni.

Tak bisa dipungkiri, ada suatu hubungan asimetri antara ilmu sejarah dan ilmu teori. Sejarah berupaya untuk membentuk pendapat yang umum dan tersendiri (berbeda dengan yang lain). Sejarawan bertujuan untuk menyatakan pendapat tersendiri (khusus) tentang kejadian dan hubungan dari kejadian-kejadian khusus; dan meskipun tugas ini dapat diterima hanya dengan berasumsi dan menggunakan hukum-hukum umum, sejarawan tidak hanya memandangnya sebagai bagian dari tugas mereka untuk membentuknya dalam hukum-hukum. Perbedaan antara sejarah dengan ilmu teori yang lain dianalogikan sama halnya dengan perbedaan antara diagnosis medis dan fisika, atau antara geologi dan fisika.

Logika dalam analisis sejarah

Penelitian sejarah memusatkan perhatian pada keistimewaan (aneh, ganjil, luar biasa), dan mencari untuk memastikan penyebab ketergantungan antara kejadian-kejadian tertentu, bukan untuk memberikan pembenaran meluas dari anggapan bahwa ada sebuah perbedaan radikal struktur logika dari pemaparan dalam sejarah dan ilmu-ilmu umum lain, hanya ada satu argumen spesifik untuk mendukung klaim bahwa ada banyak perbedaan. Telah dikatakan bahwa ada pembuktian formal yang berbeda antara “konsep umum” dari ilmu teori dan “konsep individual” yang diasumsikan menjadi tujuan penelitian sejarah. Konsep-konsep dari bentuk/jenis pertama diduga untuk memenuhi prinsip logika yang umum (familiar) dari variasi sebaliknya pada istilah extension dan intension (tension=ketegangan): ketika seperangkat istilah umum disusun dalam urutan tingginya/meningkatnya extension mereka, intensions mereka menurun. Tapi kebalikannya mengatakan untuk menjadi kasus dalam konsep individual dan pemaparan sejarah, karenanya lebih inklusif bidang jangkauannya seperti sebuah konsep, penuh dengan maksud/arti. Contohnya, istilah “pencerahan perancis” diklaim tidak hanya memiliki jangkauan (scope) yang lebih inklusif daripada istilah “kehidupan Voltaire”, tapi juga untuk memiliki intension penuh. Kemudian, “pencerahan perancis” boleh dikatakan dalam “kandungan” sebagai sebuah “komponen” dalam kehidupan Voltaire; dan ini tak bisa diragukan lagi kebenarannya bahwa istilah “pencerahan perancis” adalah lebih ”mengandung arti yang kaya” daripada istilah “kehidupan Voltaire”, jadi bahwa prinsip logika dibawah discussion tidak dapat ditampilkan signifikan dalam istilah ini.

Lebih umumnya, bahwa ini bukanlah alasan yang bagus untuk mengklaim bahwa pola umum pemaparan dalam penelitian sejarah, atau struktur logika dari hal-hal konseptual yang dikerjakannya, adalah berbeda dari penemuandalam ilmu-ilmu alam dan umum lainnya. Pemaparan premis dalam sejarah, seperti dalam ilmu alam, termasuk implisit di dalamnya adalah hukum-hukum pendapat (assumed), adalah sebanyak eksplisit (meski biasanya selalu tidak lengkap) yang diformulasikan dalam pernyataan yang istimewa dari kondisi awal. Hukum-hukum umum yang diam-diam (tak diucapkan/ tradisi?) menjadi variasi di dalamnya. Mereka bisa merupakan pernyataan yang beraturan dan terbukti kebenarannya dalam beberapa ilmu pengetahuan khusus, atau mereka merupakan anggapan yang tidak tersusun dan diambil dari pengalaman umum; mereka bisa merupakan pendapat umum dari invariable concomitance, atau bisa juga bentuk (data) statistik; mereka bisa pula menyatakan sebuah keseragaman dalam rangkaian peristiwa tertentu, atau juga menyatakan hubungan dari ketergantungan yang tidak tentu. Pernyataan istimewa dari kondisi awal adalah varietas perbadingan, dan meskipun banyak dari mereka yang seringkali tak dapat dibantah dan memilik sifat terkaan yang tinggi. Tentu saja, relevansi beberapa pernyataan yang tersendiri (istimewa, luar biasa, aneh, ganjil) di dalam suatu masalah khusus dalam penelitian, praktis boleh dikatakan kebenarannya, adalah jawaban yang seringkali tak bisa memutuskan atau tak dapat untuk menerima kesepakatan (kebulatan suara). Faktanya, beberapa prasangka dalam hubungan itu adalah lebih banyak dikenakan dalam penelitian sejarah, meskipun mereka bukannya tanpa hubunagn dengan cabang ilmu social lain.

Dalam peneitian sejarah sebagai sebuah cabang dari ilmu yang menginginkan untuk mencari kebenaran dari suatu masalah. Ini bisa merupakan pilihan individual dan merupakan suatu sokongan (pengaruh), yang dikontrol oleh pendidikan, dan pengaruh guru; bisa juga merupakan pengaruh kekuasaan dan uang; kebanggan nasional, tekanan social, atau adanya misi politik. Ide-ide sejarawan telah memberikan beberapa perhatian dalam masalah ini, dan mempunyai kemampuan menemukan/membuka data stimuli untuk penyelidikan tertentu. Namun tak ada alasan kuat untuk mempercayainya, karena penelitian sejarah dimulai dari suatu masalah khusus, atau disebabkan adanya factor-faktr/hal-hal tertentu dalam peristiwa itu, sejarawan dihalangi-lebih daripada ilmuwan alam-dalam pencarian sumber/subyek yang diselidikinya.

Banyak penulis berpikir bahwa meskipun selektivitas (kemampuan memilih) sejarah adalah mutlak dari sejarawan dengan “dipenuhi/diresapi nilai-nilai” dalam pokok masalahnya. Karena itu, menurut suatu pandangan, seorang individu atau proses dapat dikatakan sebagai ”sejarah” jika itu ”tidak tergantikan”, yang lain karena keunikan dari beberapa nilai kebudayaan yang diterima atau karena ini adalah sarana untuk mengaktualisasikan suatu nilai. Konsekuensinya, penelitian sejarah dapat menolak hubungan dalam nilai-nilai teori yang dikatakan oleh beberapa penulis untuk melibatkan sebuah muslihat/kecurangan diri, dimana komentator yang lain mencakup bahwa tak seperti ilmu fisika “sejarah adalah pribadi yang hebat (personal banget)”, maksudnya, selama “bintang dan molekul tak punya cinta dan benci, manusialah yang melakukan (bekerja)” . Di sini tidak ada dasar klaim bahwa studi sejarah adalah eksklusif (tertutup) untuk peresapan/pengandungan nilai dari peristiwa, tetapi dari kata “sejarah” adalah wewenang/perubahan mendefinisikan kembali sesuai dengan klaim/tuntutan. Meski tak dipungkiri banyak penelitian sejarah yang terkonsentrasi dengan kejadian-kejadian yang karakteristikal, banyak pula penyelidikan yang secara umum disebut ”Sejarah” yang bukan dari alam ini-contohnya penyelidikan untuk perkembangan bintang, spesies biologi, dll. Secara umum, ini bukanlah pembenaran untuk berbagai klaim tersebut yang mempelajari suatu peristiwa oleh sejarawan adalah tidak berbeda dengan beberapa segi yang sudah melekat di dalamnya. Bahkan ketika sejarawan focus dengan pengakuan/penerimaan peresapan nilai dari pokok masalah atau dengan peristiwa yang diliputi dengan nafsu (keinginan besar), yang mana bahwa dia seharusnya menghakimi atau membagi nilai-nilai atau nafsunya tersebut. Sebuah kesalahan besar jika kita menganggap bahwa sebuah penelitian tidak harus disertai dengan nilai moral dan keindahan.

Ada pula jawaban mendasar yang menyebut jika penelitian sejarah tak dapat dielakkan dari kesalahan pemutarbalikkan/penyimpangan dari fakta, karena sedikitnya sumber masalah dan bahan-bahan yang digunakan adalah dari masa lalu yang nota bene harus diseleksi, sehingga sangat sedikit. Anggapan yang membawa pandangan bahwa suatu (penelitian sejarah) tidak mengandung pengetahuan yang kompeten, dan ini adalah akibat wajar dari doktrin filosofis “internality” dari semua hubungan. Perlu dicatat, bahwa doktrin, yang ada dalam setiap catatan sejarah tidak hanya bertindak untuk menghukum/menyalahkan dari suatu peristiwa yang terjadi, tapi juga sebuah penyamaan nilai yang akan ditempatkan untuk semua ilmu, termasuk pula diskursus analitis. Pendeknya, fakta dalam penyelidikan adalah selektif (pilihan) karena keaslian dalam suatu kespesifikasian dan pembatasan yang ada pada tempat-tempat dalam masalah dari sejarawan bukanlah posisi yang salah dari ilmuwan lain dengan penerimaan untuk kemungkinan menerima karakteristik umum sebagai pengetahuan yang objektif dan benar.

Penelitian sejarah yang selektif tidak hanya ada pada point awal; tetapi penyeleksian juga muncul dalam pengusulan solusi untuk masalah ini. Suatu keragu-raguan (skeptis) muncul dalam keobyektivitasan sejarah.

Sebuah tanggapan muncul, yakni bahwa tak ada catatan yang bisa memunculkan “kenyataan penuh” dalam suatu peristiwa. Menurutnya, hanya ada sedikit aspek yang bisa diambil/dicakup oleh sejarawan dari suatu peristiwa dan berhenti pada beberapa point dalam jejak masa lalu itu, setiap menerangkan suatu peristiwa adalah dikatakan dalam kesewenang-wenangan/perubahan dan subyektivitas. Bagian dalam obyek ini dapat dihilangkan/ditolak dengan mengingat bahwa ini bukanlah tugas dari penelitian-penelitian yang dimulai oleh sebuah masalah khusus untuk membuatnya kembali sebagai pokok persoalan, dan itu akan menjadi penampilan yang serampangan (tidak beralasan) dari sejarawan dalam pencarian beberapa masalah untuk menyusun “semua yang dikatakan, dilakukan, dan dilewati oleh manusia sepanjang hidupnya”. Tidak hanya membuka fakta bahwa penyelidikan adalah selektif dan bukanlah kevalidan mendasar untuk meragukan jaminan keobyektivitasan dalam kesimpulan; sebaliknya, kecuali kalau suatu penyelidikan menyaringnya dan tidak akan pernah datang mendekat untuk memecahkan kembali jawaban khusus yang ia hasilkan.

Meskipun demikian, keberatan/persolan dalam diskusi juga menjadi kesalah pahaman yang lain; ini berpengaruh pada asumsi bahwa setiap sebab dari suatu kondisi mempunyai kondisi penyebabnya sendiri, peristiwa tidak hanya memaparkan denagn jelas segala fase kemunduran dari suatu kejadian/masa, tapi juga kondisi setelah peristiwa tersebut. Ini telah ditegaskan, contohnya jka kita akan mencari tahu tentang Baptist Sermon di Atlanta, kita harus kembali ke reformasi gereja, kita harus mencarinya dari berbagai point yang berhubungan, baik itu dari kondisi social pada masa itu, politik, dan semua hal yang berhubungan denagn keadaan/situasi dimana Baptist Sermon hidup. karena kita perlu bukti-bukti banyak sebelum kita menemukan kebenaran.

Ketika suatu masalah didefinisikan sebagai sebuah kemunduran, maka ini akan menjadi objkektif jika ada 1 jawaban yang sama dari banyak jawaban, selanjutnya ini menjadi kontradiktif. Di sisi lain, fakta bahwa suatu masalah akan mempengaruhi /mendukung terjadinya masalah lain, dan mendorong pada suatu rangkaian yang tidak ada akhirnya tentang penemuan baru, yang sederhananya menggambarkan karakter progresif dari usaha ilmiah, dimana fakta tidak mendukung tuntutan kecuali rangkaian itu diakhiri, setiap solusi yang diusulkan pada suatu masalah dibutuhkan pengujian (perusakan/pembunuhan) kebenaran. Keragu-raguan mengenai kemungkinan penelitian yang objektif dalam sejarah manusia telah mengakibatkan perubahan empiris ketika hal itu mendasari negasinya (sangkalannya) pada pengaruh dugaan dari social dan pribadi yang ada dalam peneitian. Kekhawatiran terwujud dalam apercu bahwa sejarah ditulis oleh orang-orang yang selamat (hidup lebih lama) bukan dengan alat-alat yang baru; tapi pada tahun-tahun terakhir menjadi mendalam dan memberi diberikan bentuk yang radikal oleh sosiologis. Menurut mereka, semua ingatan adalah dipengaruhi dan dikuasai oleh ‘situasi yang ada’ dalam peristiwa tersebut; dan khususnya ketika berpikir langsung diterapkan pada masalah manusia (human affairs), menginterpretasikan dan mengobservasi fakta, kegiatan menemukan masalah dan metode yang digunakan, serta standar validitas yang disesuaikan dengan kedudukan sosialnya, pandangan dunia, kekuasaan politik dan kelas. Setiap tuntutan kognitif mengenai bahan perhatian manusia yang penting dikatakan valid jika dengan aturan social yang khusus dalam kemunculannya, dan keprcayaan bahwa mungkin untuk mendapatkan keterangan-keterangan bahwa hal itu benar bagi setiap orang, terlepas dari posisinya dalam masyarakat, yang dinyatakan sebagai bagian dari penipuan diri (atau ideology) dari suatu budaya.

Dari sini muncul 4 masalah berbeda yang menjadi alasan munculnya keragu-raguan (skeptisisme) ini. Pertama, pemilihan suatu masalah yang akan dipelajari, khususnya penelitian dalam masalah-masalah manusia, tak diragukan lagi yang dikontrol oleh karakter yang diberikan oleh kebudayaan, dan juga oleh status siswa dalam kebudayaan tersebut. Suatu penyelidikan dalam masalah lalulintas tidak dibuat seperti dalam masyarakat pertanian, dan minat seseorang dalam sejarah tenaga kerja bisa jadi merupakan hal yang berhubungan/terkait dengan posisi sosialnya. Tetapi, bentuk ini dalam kegiatan penyeleksiannya dalam proses penelitian bukanlah hal yang membahayakan obyektivitas.

Kedua, tidak ada penelitian yang yang mengambil tema tentang kekosongan intelektual (intellectual vacuum), dan setiap peneliti berusaha menyelesaikan tugasnya dengan mencari informasi dan ide sebanyak-banyaknya yang didapat dari kebudayaannya. Tetapi ia tidak serta merta mengambil begitu saja informasi tersebut, karena harus menghubungkan komitmen dari nilai kesadaran dan ketidaksadaran dengan status social dari seorang peneliti tak bisa dipungkiri mempengaruhi penerimaan dari suatu kesimpulan melebihi dari yang lain. Dugaan sementara yang ia bawa dalam analisisnya harus menjadi suatu hal yang netral (di antara masalah tersebut) dari semua perbedaan dalam nilai social, bahkan ketika masalah itu adalah berhubungan dengan perkara manusia. Pada segi fakta, ada banyak pertanyaan social seperti dalam ilmu alam yang mana ada kesepakatan di antara siswa (peneliti), meskipun posisi social dan keloyalannya berbeda.

Ketiga, standar validitas operatif dalam penelitian, harus berhubungan dengan kebudayaan asli yang lain, status social, kelas dan prasangka nasional, dan perspektif dunia pun berpengaruh pada penerimaan individu terhadap kesimpulan tersebut. Contohnya, tingkatan ketelitian yang dibutuhkan dalam pekerjaan eksperimental tidak tergantung dengan perkembangan teknologi suatu negara; dan perbandingan antara sejarah selatan dan utara dalam periode rekonstruksinya mengikuti perang kemerdekaan amerika yang membuat clear force dan rasialisme. Ini adalah wilayah studi yang belum terjamah dengan sistematis, meskipun sosiologis denagn pengetahuannya telah siap menjelaskan asal mulanya dan kebiasaan penekanan social selama perang yang diterima. Dalam banyak segi, berprasangka adalah sutu tantangan abadi untuk sejarawan kritis dalam mengahadapi human affairs; dan penelitian dalam factor penyebab prasangka adalah tidak meragukan nilai untuk mnjelaskan kejadian tersebut dan untuk mengurangi jika ada pengaruh yang ditimbulkannya. Fakta sesungguhnya bahwa berprasangka bisa mendeteksi dan menginvestigasi sumber-sumbernya yang menunjukkan masalah tersebut sebagai penjelasan obyektif dalam sejarah yang diharapkan tidak sia-sia. Sebuah pernyataan yang tegas bahwa prasangka sejarawan adalah suatu perbedaan antara berprasangka dan tidak berprasangka, dan bahwa prasangka dapat diidentifikasi. Konsekuensinya, ini adalah mungkin, bahkan jika benar-benar sulit, untuk mengoreksi prasangka dan untuk mendapatkan kesimpulan dalam kesepakatan yang lebih baik dengan bukti. Jika keraguan mengenai obyektivitas sejarah diterangkan dalam pertimbangan dasar yang menghubungkan antara pengaruh factor-faktor social atas pengujian bukti. Ini seringkali mempengaruhi sikap skeptisisme mengenai kemungkinan beberapa penjelasan.

Keempat, terkadang terjadi perdebatan bahwa perspektif social siswa dari human affairs bukanlah hanya mempengaruhi hasil penelitiannya, tapi juga logika yang meliputi standar validitasnya deperti dalam maksud pernyataannya. Dan di sini ditegaskan bahwa ada penolakan thesis yang mengatakan “kejadian awal dari semua keadaan tidak relevan untuk kebenarannya”. Di sisi lain, skeptisisme radikal dalam memandang tentang penjelasan yang obyektif dari human affairs adalah bahwa akibatnya dikualifikasikan dengan tuntutan selanjutnya bahwa “tipe yang berhubungan” dari keobyektivitasan dapat diterima. Kerananya siswa yang memiliki perspektif social sama dan bekerja dalam kategori dan konsep yang sama akan mendapatkan kesimpulan yang sama dari banyak masalah ketika karakteristik standar dari perspektif umum benar-benar ditampilkan.

Terdapat perbedaan dialektikal dan faktual yang berbeda dalam beberapa klaim. Tak ada bukti factual yang menunjukkan bahwa “isi dan bentuk” pernyataan atau standar validitas, bahwa logika adaah factor yang diutamankan dalam perspektif social dalam penelitian. Fakta-fakta dibentuk tidak lebih dari berbagai macam penyebab diantara pokok-pokok ini. Contohnya, suatu pandangan public bahwa “mental” atau logika dari kelompok sosial primiti berbeda dari orang-orang yang hidup dalam peradaban Eropa, ini adalah pendapat umum yang sudah nyata dan tegas, tanpa pembentukan lagi. Mengapa tak ada persamaan pendapat mengenai masalah yang sama (human affairs)? Ini diakibatkan oleh perbedaan dominansi dari sejarawan itu sendiri, yakni adanya logika yang merdeka dan berbeda satu sama lain, tergantung pada lingkungan social yang melingkupinya.

Sesungguhnya, validitasnya adalah lebih dekat dengan batasan diri (karakteristik dan kepribadian masingmasing peneliti), tak ada siswa dengan perspeki social berbeda yang dapat dengan jelas memahami atau mengujinya, dan ini harus dihilangkan karena ketidarelevansiannya dengan sebagian besar peneliti dalam pertanyaan social. Atau dengan kata lain bahwa maksud dan kebenaran dalam sejarah bukanlah logika yang tergantung pada status social yang melingkupinya? dari sini kemudian muncul suatu kesimpulan tentang human affairs yang memunculkan “kevalidan obyektifitas”.


Tidak ada komentar: