Seorang guru marah dengan salah satu muridnya, karena murid itu membuang sampah sembarangan. Kemarahan sang guru dikeluarkan di depan murid-murid lainnya, bahkan sang guru tak segan untuk menjewer telinga si murid. Tak berapa lama kemudian, sang guru kembali masuk kelas. Saat itu ia mengajar mapel IPS dengan tema kasih sayang, dengan lantang ia mengatakan "anak-anak, kita harus selalu berkasih sayang pd semua orang. Kita harus jadi pemaaf, dan tidak boleh saling memukul. Jika ada kawan yang berbuat salah, kita harus memberitahunya pelan-pelan, jangan sambil marah-marah ya". Lalu, murid2 pun menjawab "iya bu.......".
Setelah pelajaran usai, sang guru ke luar kelas. Ia berjalan ke luar gerbang, tiba-tiba dari belakang ada seorang anak berlari dan tak sengaja menyenggolnya hingga jatuh. Sontak sang guru marah dan mengeluarkan kata2 yang tak lazim diucapkan pada murid tsb. Selain itu, sang guru memukul tangan muridnya dan membuatnya ketakutan setengah mati. Kejadian ini dilakukannya di depan murid2nya pula.
Sungguh,,,inilah kejadian yang sering terjadi dalam dunia pendidikan Indonesia. Sebuah perilaku guru yang menganggap dirinya seperti manusia setengah dewa, tidak boleh salah dan selalu menganggap muridnya itu adalah biang kebodohan. Lalu, jika demikian akankah pendidikan karakter yang selalu didengungkan akan terwujud? akankah manusia Indonesia menemukan jati dirinya sebagai sosok pancasialis yang berakhlakul karimah akan tercapai? Dan apakah pendidikan dapat mengubah moralitas bangsa yang bobrok?
Maka,,saya akan berpendapat tentu saja tidak. Logikanya, bagaimana bisa seorang murid dapat berprilaku kasih sayang jika sang guru memukul seseorang di depannya. Seharusnya sekolah dan guru merasa malu jika ia mengajarkan Pendidikan Karakter scr mandiri ataupun terintegrasi dalam mapel lain, tapi ia tidak memiliki karakter yg hendak ia ajarkan. Karena, seseorang tidak bisa merekomendasikan sesuatu tanpa ia merasakannya lebih dulu, analoginya: jika kita hendak merekomendasikan sebuah restoran, maka kita wajib pernah berada di sana dan merasakan masakannya.
Lalu, bgmana seharusnya pendidikan karakter dilakukan?
Berdasarkan diskusi dengan seorang kawan, sbenarnya pendidikan karakter tak perlu diajarkan scr mandiri atau dieksplisitkan dalam mapel. Karena, pada dasarnya pendidikan karakter telah terintegrasi sejak lama dlm sekolah formal, bahkan sejak sekolah2 masih berada di emper2 keraton dan hanya bisa diakses oleh kalangan birokrat keraton. Dlm pendidikan karakter, intinya sebenanya hanya dua, yaitu:
Keteladanan dan Pembiasaan.
Guru dan akademisi sekolah lain, seharusnya telah bersikap selayaknya karakter yang akan mereka sampaikan, kemudian melakukannya baik ketika di lingkunga sekolah atau di luar itu. Kemudian, pembiasaan, guru sebaiknya melakukan pembiasaan mengenai kaakter yg diharapkan, agar murid memiliki kompetensi karakter itu, mislanya karakter kerjasama, guru tidak hanya mengajak siswa bekerjasama ketika diskusi di kelas, tapi lakukan pula kerjasama itu dalam kegiatan di luar pelajaran, misalnya membuat kegiatan kerja kelompok atau melakukan outbond bersama.
Jika keteladanan dan pembiasaan dilakukan dengan semestinya, maka pendidikan karakter tidak hanya menjadi sebuah proyek ngawur yang arahnya serabutan. Generasi2 muda Indonesia pun tak lagi hnya memiliki kompetensi kognitif, tetapi jg afektif dan psikomotorik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar