Fasisme berasal dari bahasa Italia Fascio yang diambil dari bahasa latin fasces yang artinya seikat batang kayu. Dalam budaya Romawi kuno, fasces ini diberikan kapak di bagian tengahnya, lalu dipergunakan sebagai simbol kekuatan dari bermacam-macam unsur yang menyatu. Fasces sering dibawa ke depan pejabat tinggi, dan diartikan sebagai simbol kekuasaan pejabat pemerintah. Menurut George Mosse, cikal bakal fasisme adalah serangan terhadap positivisme dan liberalisme pada akhir abad 19. Ernst Nolte mengusulkan fasisme didefinisikan sebagai trend politik yang berakar pada abad 19 atau pada hakekatnya adalah fenomena abad ke-20. Jika komunisme merupakan pemberontakan pertama yang bersifat revolusioner dan totaliter terhadap cara hidup Barat yang liberal, maka fasisme dianggap merupakan pemberontakan kedua. Inti sari dari fasisme adalah pengorganisasian pemerintahan (sistem pengaturan pemerintahan) dan masyarakat secara totaliter oleh kediktatoran partai tunggal yang sangat nasionalis, militeristis, rasialis, dan imperialis. Di Eropa, negara pertama yang menjadi fasis adalah Italia (1922), Jerman (1933), dan Spanyol (1936). Sedangkan di Asia fasisme muncul di Jepang tahun 1930-an melalui perubahan ke arah lembaga-lembaga yang totaliter. Sutan Sjahrir memberikan pengertian terhadap fasisme adalah faham kemasyarakatan yang mengancam harkat dan martabat kemanusiaan. Menurutnya, faham yang ada dalam masyarakat akan mengalami perkembangan menjadi gerakan yang akan melawan kekuatan demokrasi, yang mana juga seluruh kekuatannya fasis tersebut bekerja melawan kemajuan dan kebebasan manusia universal.
B. Konsep Dasar Faham Fasisme
1.Fenomena Industrialisasi dan Pengalaman Berdemokrasi
Meskipun memiliki persamaan dengan komunisme yaitu menggunakan sistem totaliter dalam pemerintahannya, namun tempat munculnya fasisme sangat jauh berbeda dengan komunisme. Jika komunisme seringkali muncul di bangsa yang melarat dan terbelakang (contoh Rusia, Cina, Kuba), Fasisme seringkali muncul di negara yang lebih makmur dan secara teknologi lebih maju. Fasisme secara historis lahir setelah ada pengalaman demokrasi dan industrialisasi. Tingkat perkembangan industri menjadi pokok penting karena, pertama, aksi yang diperolehnya, teror dan propaganda fasis banyak memerlukan organisasi dan teknokrat. Kedua, sebagai sistem mobilisasi permanen untuk keperluan perang, fasisme membutuhkan dukungan industri. Dengan demikian, jika komunisme adalah sistem totaliter untuk mengindustrialisasi suatu masyarakat yang terbelakang; sedangkan fasisme adalah sistem totaliter untuk menyelesaikan konflik-konflik dalam masyarakat yang lebih maju industrinya. Menurut teori Marxis, perkembangan fasisme dapat dilihat sebagai akibat tidak langsung dari depresi ekonomi. Menurut teori komunis Marxis, pada masa depresi ketakutan dan frustasi merusak kepercayaan orang pada proses demokrasi. Kepercayaan pada metode-metode yang rasional melemah, di sinilah fasisme mulai meraih keuntungannya. Depresi yang menyebabkan banyaknya pengangguran merupakan massa mengambang yang menjadi basis empuk dari fasisme, hilangnya harga diri para pengangguran diangkat dengan sistem uniformitas (seragam, upacara, salam).
2. Target Group
Kelompok basis pendukung fasisme ada tiga, yaitu pertama, sekelompok kecil industrialis dan tuan-tuan tanah (landowners). Konsesi yang diharapkan adalah bahwa sistem itu dapat melenyapkan serikat-serikat buruh bebas, sedangkan pemerintahan fasis mendapatkan sumber-sumber ekonomis dari mereka. Kelompok ini bukanlah berorientasi pada fascist minded, mereka bergerak berdasarkan kepentingannya sendiri.
Kedua, kelas menengah bawah (lower middle class), terutama kalangan pegawai negeri (salaried group). Kelompok ini mengalami kecemburuan terhadap karyawan di perusahaan-perusahaan besar, dan takut akan penggabungannya kembali dengan kaum proletar, mereka ingin mempertahankan prestise mereka.
Ketiga, Kelompok militer. Bahkan di negara demokrasi yang mapan sekalipun, personil militer cenderung meremehkan kedisiplinan dan persatuan. Kalau demokrasi melemah, penyimpangan profesi dalam tubuh militer ini akan menjadi bencana politik. Fasisme mampu mengakomodir kepentingan kelompok sosial ini. Alhasil, corak militeristis sangat menonjol dalam fasisme. Namun demikian, kelompok militer juga memainkan peranan utama dalam menyingkirkan pemeintahan yang fasis.
3. Dasar Psikis (Nafsu Berkuasa vs Nafsu Tunduk)
Di beberapa negara fasis (Jerman dan Jepang), memiliki tradisi otoriter dalam sistem pemerintahannya dan mendominasi selama berabad-abad. Demokrasi yang bertunas di daerah tersebut belum kuat dan tidak mampu menghindarkan dirinya dai tradisi ini. Karena itu, seorang warganegara Jerman atau Jepang tidak akan menolak kecenderungan-kecenderungan fasis di negaranya dan mungkin saja mereka menganggap sesuai dengan masyarakatnya.
Analisis tradisional mengenai kediktatoran politik telah dipusatkan pada motivasi-motivasi yang mendorong para pemimpin yang bersifat diktator seperti nafsu yang menggebu-gebu untuk meraih kekuasaan dan hasrat mendominasi. Pengikut dan warganegara dari suatu kediktatoran dianggap sebagai “korban-korban” yang kebetulan terjerumus ke dalam nasib yang malang. Kediktatoran politik semakin berkembang manakala ada sikap patuh dan menerima, hasrat memasrahkan diri dan menggantungkan diri pada orang lain. Fasisme sebagai sistem totaliter mencari bentuk hubungan manusia yang seperti ini untuk menarik massa.
Gerakan-gerakan fasis menyadari betul sifat manusia yang ingin dilindungi dan ingin menyalurkan diri. Fasisme menyalurkan dua jalur dalam pemerintahannya, yaitu jalur untuk mereka yang ingin berkuasa dan jalur kedua untuk mereka yang dikuasai. Sedangkan penyelesaian untuk mengatasi kebencian dan rasa permusuhan yang laten dari rakyat, ialah dengan melawan musuh-musuh yang nyata ataupun imajiner.
4. Doktrin Politik
Fasisme sebagai suatu gerakan tidak memiliki doktrin dan cita-cita etis sebagaimana dalam komunisme. Fasisme tidak mempunyai Das Kapital-nya Marx, blue print aksi, teori koheren mengenai perkembangan masyarakat, ekonomi, dan politik. Maka sebenarnya fasisme lebih sebagai gerakan reaksioner daripada doktriner ideologis. Namun ketiadaan ideologi, dasar teoritis, dan prinsip-prinsip yang diakui secara universal ini bukanlah dalam pengertian yang mutlak, dalam artian tidak ada sama sekali. Hitler mewariskan pedoman yang dipercaya menuju ke alam pemikirannya dan tercatat dalam bukunya Mein Kampf (1925-1927), sedangkan Mussolini meninggalkan pernyataan yang moderat mengenai prinsip-prinsip fasis yang menggambarkan fasisme model Italia dalam bukunya Doctrine of Fascism (!932). Berikut ini adalah beberapa unsur pokok yang ditemukan dalam gagasan fasisme pada umumnya.
a. Mitos ras
Rasisme adalah karakteristik yang dominan dalam fasisme. Menurut doktrin fasis, dalam suatu negara elit lebih unggul dari kelompok massa dan karena itu dapat memaksakan kehendaknya dengan kekerasan. Wilhelm Reich, "Teori ras adalah poros teoritis fasisme Jerman." Mussolini menyebutkan bahwa kaum Romawi yang memerintah Kekaisaran Roma adalah sebuah "ras unggul", dan bahwa orang-orang Italia, sebagai keturunan mereka, juga memiliki sifat unggul ini. Penaklukan Ethiopia didasarkan pada ide ras unggul ini, dan bahwa orang-orang Ethiopia yang berkulit hitam ini harus tunduk kepada orang Italia, sesuai dengan apa yang dianggap sebagai hirarki rasial alamiah. Franco mengemukakan klaim serupa untuk Spanyol.
b. Ketidakpercayaan kepada keampuhan nalas (Irrasionalitas)
Tradisi rasional dunia Barat berasal dari Yunani Kuno dan merupakan unsur pokok dalam kebudayaan dan padangan Barat, fasisme menolak tradisi ini. Dalam urusan-urusan kemanusiaan fasisme tidak mengandalkan akal atau nalar, tetapi mengutamakan unsur-unsur dalam diri manusia yang irrasional, sentimentil, dan tak terkendali. Secara psikologis fasisme bersifat fanatik dan tidak mawas diri, dogmatik dan tidak terbuka. Sehingga setiap rezim fasis memiliki masalah-masalah yang bersifat tabu, seperti soal ras, kerajaan, atau pemimpin. Masalh-masalah ini harus diterima sebagai keyakinan dan tidak boleh didiskusikan secara kritis.
c. Pengingkaran persamaan derajat kemanusiaan
Masyarakat fasis tidak hanya menerima kenyataan mengenai ketidaksaamaan, tetapi malah menjadikan ketidaksamaan itu sebagai idealisme. Konsep tentang persamaan derajat manusia berpangkal pada tiga akar peradaban Barat. Pemikiran Yahudi mengenai Tuhan menganggap bahwa karena semua orang adalah anak-anak Tuhan, maka mereka saling bersaudara. Pemahaman Kristiani mengenai jiwa manusia yang tidak terpisahkan dari manusia dan sifat-sifatnya yang tidak dapat binasa melahirkan cita-cita tentang persamaan moral dasar pada setiap orang. Konsep pemikiran Yunani-Stoika tentang keampuhan nalar meyakini pada pemikiran mengenai ketunggalan manusia yang didasarkan pada kemampuan akal budi sebagai ikatn paling sejati karena dimiliki oleh setiap manusia.
Fasisme menolak tiga konsep pemikiran Yahudi-Kristiani-Yunani dan mempertentangkannya dengan konsep ketidaksamaan martabat manusia yang diterangkan dalam wujud antara yang super dan yang inferior. Konsep ketidaksaamaan derajat pada fasisme didasarkan atas kekuatan, pria melebihi wanita; militer melebihi kelompok sipil, anggota partai melebih non anggota partai; yang kuat mengatasi yang lemah dan pemenang dalam perang akan membawahi yang kalah.
d. Moralitas berdasarkan kebohongan dan kekerasan
Konsep demokrasi, politik merupakan mekanisme yang berfungsi untuk menyelesaikan konflik-konflik sosial secara damai. Dalam konsep fasis, politik diciptakan oleh hubungan kawan dan lawan, politik berawal dan berakhir dengan kemungkinan adanya musuh dan pemusnahan musuh secara tuntas. Kaum fasis tidak mengenal oposan, ia hanya mengenal musuh dan satu-satunya cara untuk mengatasinya adalah memusnahkan sampai tuntas.
Kamp-kamp dan sistem kerja paksa yang digunakan oleh negara-negara fasis merupakan upaya menghancurkan pribadi yang legal dan bermoral. Brainwashing dilakukan untuk menyesatkan pikiran orang. Dengan melembagakan pembunuhan secara massal melalui kamp-kamp konsentrasi dan kerja paksa, rezim totaliter menunjukkan akibat ketidakpatuhan mereka pada penguasa. Kematian yang perlahan-laan di kamp-kamp tersebut merupakan cara demonstratif yang efisien daripada menggunakan cara-cara kuno seperti digantung atau ditembak.
e. Nasionalisme dan Pemuliaan Negara
Konsep nasionalisme fasis adalah nasionalisme fanatis yang dikenal juga dengan nasionalisme romantik. Pondasi nasionalisme romantik didasarkan pada “perasaan”. Ideologi yang imajinatif ini menghasilkan individu-inividu yang terlepas dari realita, tersesat dalam kebingungannya sendiri. Romantisisme dengan memperbudak orang-orang terhadap perasaannya membimbing mereka untuk putus hubungan degan realita, dalam hal ini dianalogikan dengan penyakit kejiwaan skizofrenia (penderita penyakit ini sepenuhnya terputus dari kenyataan dan hidup dalam dunia yang diciptakan imajinasi mereka sendiri).
Nasionalisme romantik didasarkan pada sejumlah gagasan keliru, yang menonjol diantaranya adalah ide “darah” dan “tanah air”, yang kemudian diidolakan dan menjadi obsesi untuk diikuti secara membabibuta. Arus pemikiran ini terkait erat dengan ras kelompok yang dianggap suci, dan memandang pertumpahan darah sebagai perang suci. Di bawah pengaruh nasionalisme romantik, orang-orang terprovokasi ke dalam perang yang menumpahkan jutaan liter darah, kesengsaraan, dan air mata.
f. Pemerintahan elit dan prinsip pemimpin
Konsep pemimpin dalam negara fasis sangat mirip dengan konsep kepemimpinan yang dikatakan Plato. Plato menyatakan bahwa hanya kelas “raja-raja filsuf” yang memnuhi syarat untuk memegang pemerintahan. Konsep fasis adalah bahwa hanya ada satu kelompok minoritas kecil penduduk yang terpandang karena asal-usul, pendidikan, dan statusnya dalam masyarakat yang mampu memahami apa yang terbaik untuk seluruh anggota masyarakat dan merekalah yang bisa mewujudkannya. Konsep ini sangat berlawanana dengan konsep demokrasi, yang menyatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat.
Konsep pemerintahan elit dalam negara fasis, seringkali memperoleh dukungan rakyat. Meskipun demikian, berbeda dari konsep demokrasi yang mendasarkan pada kebebasan, dalam negara fasis rakyat dilepaskan dari urusan pemerintahan, tanpa proses pemilihan yang bebas, kebebasan pers, atau oposisi yang berfungsi leluasa. Prinsip kepemimpinan fasis mencerminkan penekanan yang irrasional dalam politik fasis. Pemimpin selalu dianggap benar dan mendapatkan wahyu serta kemampuan mistik. Pemimpin mewakili kepentingan umum dalam artian cara rakyat berpikir, pemimpin dianggap mengetahui yang terbaik untuk seluruh masyarakat (Rousseau menyebutnya “Kehendak Umum”), sementara rakyat hanya mengungkapkan kepentingan dan hasrat individu yang tidak mesti selaras dnegan kebijakan umum.
g. Sistem Totaliter
Totaliterisme dalam semua bentuk hubungan mencirikan fasisme sebagai pandangan hidup, bukan hanya sekedar sistem pemerintahan. Berbeda dengan beberapa bentuk kediktatoran di Amerika Latin yang menerapkan prinsip otoriter hanya di bidang pemerintahan saja. Dalam artian jika secara politik rakyat tidak menimbulkan masalah atau kesulitan dan tidak mengganggu kekuasaan diktator dan pengikutnya, maka mereka bebas menjalani hidupnya. Sebaliknya, dalam konsep fasisme yang bersifat totaliter. semua bentuk hubungan masyarakat diatur oleh pemerintah dengan menggunakan kekuasaan dan kekerasan. Fasisme juga menggunakan semua bentuk kekerasan mulai dari verbal hingga ancaman pembunuhan massal.
h. Militerisme dan Imperialisme
Rezim fasis mempergunakan kekuatan militer dalam setiap aksinya. Kelompok militer menjadi semakin esensial, ketika mereka berupaya menaklukan negara-negara lain yang dianggap berperadaban rendah, karena tidak memiliki ras yang sama dengan mereka. Prinsip kekerasan untuk mengatasi musuh-musuh mereka, menjadi alasan pentingnya kelompok militer ini. Sepanjang sejarah, tidak ada negara fasis yang tidak mempergunakan militer sebagai kelompok yang elit dalam masyarakat. Namun demikian, tercatat dalam sejarah pula bahwa kelompok militer adalah kelompok yang seringkali mampu menggulingkan rezim-rezim otoriter dan diktator seperti fasis.
Imperialisme yang diusung oleh fasisme bukanlah imperialisme kuno yang mendasarkan pada Gold, Glory, dan Gospel. Imperialisme fasis adalah imperialisme berdasarkan pada rasialis, dimana tujuan utamanya adalah memusnahkan ras yang berbeda dari mereka dan dianggap lebih rendah. Imperialisme ini juga terkait dengan keinginan mewujudkan negara/kerajaan “Raya” di dunia, dimana negara fasis itulah yang menjadi pemimpinnya.
i. Ekonomi Fasis adalah Ekonomi Terpusat (Negara Korporasi)
Dalam perekonomiannya, rezim fasis menggunakan pendekatan korporatis. Fasis membagi asosiasi modal dan tenaga kerja yang diawasi oleh negara, dan setiap asosiasi mendapat monopoli dalam usaha dan kegiatannya. Ada dua asumsi yang mendasari filsafat negara korporatis, pertama, seorang warga negara (kecuali sekelompok elit penguasa) tidak boleh terlibat dalam kegiatan politik, ia hanya boleh menjalankan fungsi sosialnya. Kedua, elit penguasa dianggap memahami masalah yang penting yang mempengaruhi seluruh anggota masyarakat, karena itu merekalah yang memenuhi syarat untuk memegang pemerintahan. Tujuan negara korporatis adalah menjamin kekuasaan negara dan bukan kesejahteraan individu. lebih khusus, tujuan akhir organisasi perekonomian korporatis adalah persiapan menuju perekonomian perang permanen, karena imperialisme yang agresif merupakan tujuan akhir politik luar negeri fasis.
Sistem ekonomi fasis menolak perekonomian kemakmuran bebas, entah itu kapitalis, sosialis, atau sistem jalan tengah. Perekonomian terbagi dalam berbagai sindikat, serikat buruh, majikan dan kelompok profesional. Setiap bidang usaha atau industri hanya diperkenankan memiliki satu sindikat, keanggotaan bersifat sukarela dan memberlakukan iuran wajib. Pegawai sindikat adalah pejabat-pejabat fasis atau orang-orang yang pro-fasis. Akibatnya, serikat ini menjadi alat dari kebijaksanaan negara, tanpa kehendak dan kebebasan sendiri.
Setiap sindikat mendapat monopoli untuk pengorganisasian bidang usahanya. Pemerintah fasis membentuk perusahaan (coorporation) yang merupakan badan administratif dalam industri tertentu yang dirancang untuk mempersatukan dan mengawasi sindikat buruh dan manjikan dalam industri tersebut. Perusahaan yang merupakan instrumen penting dalam perekonomian fasis, tidak akan menuntut otonominya karena ia hanya badan administratif negara yang tidak berbeda dengan instrumen pemerintahan lainnya. Status perusahaan fasis Italia adalah badan pemerintah.
j. Mengabaikan Hukum dan Ketertiban Internasional
Perang merupakan konsekuensi logis dari keyakinan fasis pada ketidaksamaan martabat manusia, kekerasan, elitisme, rasialisme, dan imperialisme. Setiap organisasi internasional mengambil bentuk pemerintahan atas dasar konsensus yang bertolak belakang dengan prinsip kaum fasis, yaitu pemerintahan atas dasar kekerasan dan paksaan. Akibatnya, negara-negara fasis menarik diri dari partisipasinya dalam organisasi internasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar