Voltaire merupakan salah satu dari dua tokoh filsuf pencerahan Perancis yang paling terkenal dan berpengaruh. Mereka menyebut dirinya sendiri filsuf pencerahan (enlightenment), tetapi mereka keduanya tidak memiliki kesabaran berurusan dengan metafisika dan epistemologi. Mereka membatasi perhatiannya pada masalah yang kurang abstrak dan lebih praktis, seperti politik dan pendidikan. Akibatnya, mereka mempunyai pengaruh yang besar terhadap zaman mereka yang serba kacau (Robert C. Solomon dan Kathleen M. Higgins, 2003).
Voltaire mengagumi pencerahan di Inggris, khususnya filsafat politik Locke. Ia membawa keduanya kembali ke Perancis maupun gereja Katholik. Ia mengungkapkan ide-idenya dalam esai-esai polemik komentar politik, kritik, dan kisah-kisah tentang perubahan yang imajinatif. Voltaire membela akal budi dan otonomi individu dan sangat senang dalam menggembosi balon-balon omong kosong metafisika dan teologi zamannya. Ia juga menggerakkan tuntutan-tuntutan perubahan para kelas menengah (bourgeois) yang akan memulai tahap revolusi Perancis (Robert C. Solomon dan Kathleen M. Higgins, 2003).
Pada zaman pertengahan semua hal diarahkan ke atas dunia dengan Tuhan sebagai penguasa kodrat manusia, maka pada Renaissance, semua hal difokuskan pada dunia dan manusia. Bukannya Tuhan dipandang sebagai ideal yang terpenting, tetapi manusia yang terpelajar dan beradab dalam segala lapangan ilmu pengetahuan itu dipandang seperti ideal yang dituntut. Serta dari pikiran-pikiran dan ideal itu juga dipandang segala kejadian sejarah dan perbuatan manusia di dalamnya. (Rustam E. Tamburaka, 1999) Tetapi ketika manusia diletakkan dalam pusat sejarah seluruhnya dan mencoba menjelaskan seluruh sejarah, itu tidaklah cukup dan mesti gagal. Karena selama manusia belum mengerti dirinya sendiri, selama ia belum menjelaskan manusia itu siapa, selama soal tentang filsafat sejarah belum dipecahkan, tidak akan muncul banyak perubahan di dunia.
Gagasan Voltaire ialah bila manusia ingin merdeka dan bebas dari kungkungan, ia harus melawan segala bentuk dominasi dan pengaruh agama Kristen dan gereja. Bagi Voltaire sumber segala kejahatan dan bencana kemanusiaan di dunia adalah agama yang terorganisir (The root of all evil in the world was organised religion). Agama memaksa manusia mempercayai absurditas, keyakinan supranatural yang tidak masuk akal dan berbuat sesuatu atas nama kehendak tuhan. Voltaire (seperti Freud), pecaya bahwa smeua agama berakar dari ketakutan manusia terhadap kekuatan misterius dari kekuatan alam. Rasa ketakutan ini dieksploitisir oleh pendeta yang merasa menemukan tuhan, pengontrol semua kekuatan itu. Perintah dan nasehat pendeta harus dipatuhi jika manusia ingin selamat. (Ahmad Suhelmi, 2001, hlm. 124)
Voltaire menyerang semua agama wahyu, terutama Katholik. Ia menilai Katholik sebagai bentuk agama terburuk dari semua agama wahyu. Teologi dianggapnya sebagai “logika tanpa penalaran”. Sejarah gereja adalah kisah panjang penindasan kaum pendeta terhadap kaum ingkar, murtad, dan kaum pemikir bebas, pembunuhan massal, perang-perang agama yang semua itu menghiasi Eropa dengan darah. Oleh karena itu Voltaire menganggap agama itu menjijikkan dan menakutkan, agama menjadi anti-tesis kemanusiaan. Meskipun demikian, Voltaire bukanlah atheis, ia adalah seorang deis. Deis percaya pada agama alam, agama yang tanpa dogma, doktrin, bible, atau keajaiban-keajaiban. Deis percaya pada Tuhan hanya sebagai pencipta alam semesta. Voltaire mengatakan:”Saya akan selalu yakin bahwa sebuah jam membuktikan keberadaan pembuat jam, dan alam semesta membuktikan keberadaan Tuhan.” Menurut Voltaire, setelah dunia diciptakan, Tuhan tidak mengintervensinya. Alam semesta bekerja otomatik menurut hukum-hukumnya sendiri. (Ahmad Suhelmi, hlm. 124)
Voltaire meyakini adanya moralitas universal, moralitas yang berlaku umum, tidak terikat ruang dan waktu serta tidak harus bersumber pada agama yang terorganisir. Dasarnya, Tuhan telah memberikan manusia kode moralitas, yaitu kebaikan dan kejahatan. Voltaire, meski tidak percaya surga-neraka dalam pengertian Kristiani, ia tetap percaya pada immortalitas (keabadian) jiwa/ruh dan kehidupan mendatang. Diyakini, bahwa kebaikan akan dibalas dengan kebaikan, begitu pula dengan kejahatan.(Ahmad Suhelmi, hlm. 125)
Perlawanan Voltaire terhadap Katholisisme dalam bentuk deisme sebenarnya dimaksudkan untuk mendeprivasi kontrol politik kekuasaan gereja, mendukung perkawinan sipil dan perceraian, penghapusan pengadilan gereja, dan alat-alat koersi gereja serta emansipasi antara manusia khususnya antara Protestan dengan Yahudi. Perkembangan deisme dan rasionalisme dalam abad ke-17 dan 18 mengurangi penekanan kepada rencana Tuhan dan memperbesar minat kepada karya manusia serta tempat tinggalnya yang gaib maupun wahyu dan ilham Ilahi sebagai keterangan kausal bagi perkembangan manusia tersingkir, secara berangsur-angsur oleh penekanan baru kepada yang alamiah dan yang biasa. Sifat manusia yang kompetitif dan lembaga-lembaganya dijabarkan dan keharusan untuk membatasi kempetisi dalam batas-batas yang layak (akal, kebebasan, hak dan kewajiban). Kesempurnaan manusia merupakan tujuan yang secara terus menerus di dekati oleh sejarah (Rustam E. Tamburaka, 1999).
Voltaire bukanlah seorang ahli ilmu pengetahuan, tetapi dia menaruh minat besar terhadap ilmu dan pendukung gigih sikap pandangan empiris dari John Locke dan Francis Bacon. Dia juga seorang ahli sejarah yang serius dan berkemampuan. Salah satu karyanya yang terpenting ialah buku yang menyangkut sejarah dunia Essay on the Manners and Spirit of Nations. Buku ini berbeda dengan umumnya uraian sejarah yang pernah ada sebelumnya dalam dua segi: Pertama, Voltaire mengakui bahwa Eropa hanyalah merupakan bagian kecil dari dunia secara keseluruhan, karena itu dia menitikberatkan sebagian dari pengamatannya pada sejarah Asia. Kedua, Voltaire menganggap bahwa sejarah kebudayaan adalah --pada umumnya-- jauh lebih penting daripada sejarah politik. Bukunya dengan sendirinya lebih berkaitan dengan kondisi sosial ekonomi dan perkembangan seni ketimbang soal raja-raja dengan segala rupa peperangannya. Voltaire bukanlah mendekati filosof orisinal seperti beberapa tokoh yang ada dalam daftar buku ini. Sampai batas tertentu dia bertolak dari pandangan orang lain seperti John Locke dan Francis Bacon, memperkuat pendapat mereka atau mempopulerkan mereka. Melalui tulisan-tulisan Voltaire-lah, lebih dari siapa pun juga, ide demokrasi, toleransi agama dan kebebasan intelektual berkembang di seluruh Eropa.
Pemikiran Voltaire sendiri tentang sejarah, sejarah dipandang sebagai suatu proses yang membimbing manusia sampai kesempurnaannya, sehingga setiap epos kerja akan lebih sempurna dari yang dahulu. Maksud dan tujuan sejarah adalah untuk memperbaiki keadaan manusia berkat akal budi dan menjadikan manusia lebih kurang bodoh, melainkan lebih baik dan lebih bahagia. Ide ini kemudian diikuti dan dikembangkan oleh para filsuf generasi berikutnya sebagai faham optimistisme. Menurut faham ini untuk memperbaiki manusia melalui akal budinya saja. Menurut Voltaire: manusia adalah baik pada asalnya, haruslah saja diberikan kepadanya pendidikan dan pengetahuan yang cukup, lalu segala-gala akan beres dan dunia ini menjadi suatu tempat yang baik dan peperangan di antara Negara masing-masing tidak ada lagi (Rustam E. Tamburaka, 1999).
Akal budi manusia yang terpengaruh dan terpelajar dalam prinsip-prinsip ilmu alam dan pasti selalu berusaha untuk menyelidiki keadaan dan sebab yang boleh membantu bagi kemajuan dan kemakmuran. Akal budi yang demikian itu memeriksa iklim, tanah, dan syarat hidup manusia, adat istiadat, pakaian, dan lain-lain untuk mengerti bagaimana mereka dan untung ruginya untuk umat manusia. Dari pendapat dan pandangan diperkirakan segala kejadian sejarah, maksudnya untuk mengetahui, sejauh mana mereka berguna untuk manusia atau manusia menjadi lebih berbahagia berkat mereka sendiri. Akan tetapi Voltaire cukup pintar sehingga ia terlalu mementingkan pikiran atau kepercayaan akan kemajuan, seperti pada waktu itu dilakukan oleh Comte, Proudhon, dan Gondorcet.
Meskipun ada penulis-penulis penting lain (Diderot, d'Alembert, Rousseau, Montesquieu dan lain-lain) dalam masa pembaharuan Perancis, Voltaire lebih layak dianggap pemuka dari kesemuanya itu. Dia pemimpin terkemuka dari gerakan itu. Pertama, gaya sastranya yang menggigit, kariernya yang panjang, dan tulisannya yang begitu banyak menggaet pengikut yang tak tertandingkan oleh penulis-penulis yang mana pun juga. Kedua, gagasan-gagasannya sepenuhnya bercirikan pembaharuan. Ketiga, Voltaire mendahului tokoh-tokoh penting lain dari sudut waktu. Karya besar Montesquieu The Spirit of Law baru terbit tahun 1748; jilid pertama Encyclopedie yang masyhur itu baru terbit tahun 1751; esei Rousseau pertama ditulis tahun 1750. Sedangkan Letters of the English-nya Voltaire sudah muncul tahun 1734 dan dia sudah kesohor enam belas tahun sebelum buku itu keluar.
Tulisan-tulisan Voltaire dengan kekecualian novel pendek Candide sedikit sekali dibaca orang sekarang. Buku-bukunya tersebar dan terbaca luas selama abad ke-18, karena itu Voltaire memegang peranan penting mengubah iklim pendapat umum yang ujung-ujungnya berpuncak pada meletusnya Revolusi Perancis. Dan pengaruhnya tidaklah cuma terbatas di Perancis: orang-orang Amerika seperti Thomas Jefferson, James Madison dan Benjamin Franklin juga kenal baik dengan tulisan-tulisannya. Adalah menarik membandingkan Voltaire dengan teman sejamannya yang masyhur, Jean-Jacques Rousseau. Voltaire yang segenap pandangannya rasional. lebih berpengaruh. Sebaliknya, Rousseau lebih orisinal dan karyanya lebih berpengaruh di jaman sekarang ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar