Sore hari di toilet, tak sengaja saya mendengar percakapan beberapa mahasiswi tentang aksi demonstrasi yg baru saja mereka lakukan. Dari 4 mahasiswi yang sedang bercengkrama, tampak satu orang yg aktif menceritakan pengalamannya, jadi mungkin dia itu yang ikut demo menentang kenaikan BBM siang tadi.
Mahasiswi: eh, tadi gimana, katanya rame?
Mahasiswi(yg ikut demo): iya, aku td dapet di Blok M...wah,bnyak polisi,,serem,kita suruh nunduk sama polisi
Mahasiswi: trus kamu ngapain aja?
Mhasiswi (pendemo): aq cm nyanyi2 aja,,tp dh dikasih liriknya,tuh..(Sembari menunjuk secarik kertas di atas wastafel)
Mahasiswi: besok aksi lagi?
Mahasiswi (pendemo): iya,,,ktnya mau sampe akhir bln ne,sampai kputusan diambil..
Mahasiswi: wah,,berarti ga kuliah dong
Mahasiswi (pendemo): he..he..he.. ya gitu dech...
Mendengar obrolan mahasiswi tsb, sy smkn yakin bhwa belum tentu demonstran ini punya pemahaman mengenai apa,mengapa,dan untuk apa aksi ini dilakukan. Sy yakin bnyk mhsiswa yg hany ikut2an,atau mnjadikan moment ini utk membolos dr kuliah. Jika demikian, akankah demonstrasi memiliki makna?
Akankah tujuan demonstrasi dpt disampaikan jika si penyampai ini tidak mengerti tujuan yg sesungguhnya dr demonstrasi ini. Sy meyakini bhwa mayoritas mahasiswa yg ikut demo hanya paham bhwa tujuan aksi mereka adl menolak kenaikan BBM, dan mereka selalu mengumandangkan slogan itu sepanjang jalan.
Aksi demonstrasi merupakan salah satu cara utk menyampaikan aspirasi. Aksi ini dilakukan manakala si pemilik kebijakan sudah tdk bisa diharapkan menerima aspirasi lewat jalan damai, alias ngeyel dan keukeuh dengan pendiriannnya. Maka, dipilihlah aksi demonstrasi sbg solusinya.
Dalam negara yang demokratis, aksi demonstrasi dibenarkan dan dibolehkan, karena adanya ketentuan Freedom of speech (kebebasan berpendapat). Di Indonesia, aksi demonstrasi menjadi langkah yang mumpuni untuk mencegah keluarnya kebijakan yang tidak populis, bahkan pada beberapa persoalan, aksi ini mampu menggulingkan sebuah rezim yang dianggap sudah tidak layak memegang otoritas. Misalnya, pada kasus Rezim Orba, kekuasaannya selama 32 tahun berhasil diruntuhkan dlm waktu beberapa bulan.
Permasalahannya, aksi demonstrasi yang terjadi di Indonesia selalu sama dari jaman ke jaman, selalu ada anarkisme. Bisa dibilang bangsa ini sudah brpengalaman dalam berdemonstrasi, tapi tetap aja selalu menonjolkan kemarahan, kebencian, dan penggunaan kata-kata yg tidak layak ditampilkan di depan umum. Para pendemo tidak pandai belajar dari masa lalu, yaitu ketika emosi dikedepankan dalam aksi, yang tjd adalah kerugian,tdk hanya bagi pendemo atau pemegang otoritas, tapi juga rakyat yang aspirasinya sedang mereka sampaikan. Sayang sekali, krn yg dipelajari para pendemo dr pendahulunya adl pendekatan emosional, dengan alasan agar pemegang otoritas (Sasaran demo) ini takut, jera, dan mau melayani mereka.
Padahal, ketika aksi dg pendekatan emosional dilakukan, si pemegang otoritas ini pun akan reflek 'melayani' anarkisme pendemo dengan aksi kekerasan pula. Akibatnya, akan muncul 'perang saudara', yang pasti korbannya tidak hanya dari kedua 'lawan' ini, tapi juga dari rakyat yang 'blank' dg permasalahan.
Maka, sbg bangsa yang sdh makan asam garam dlm berdemokrasi, perlu adanya upaya pembenahan dalam berdemonstrasi. Sharusnya, jangan ada lagi aksi yang menggunakan pendekatan emosional, tapi lakukan aksi yang berasal dari hati nurani. Luruskan niat untuk benar2 membela rakyat dan pahami permasalahannya dengan baik. Inilah sikap-sikap berdemonstrasi yang sebaiknya dikembangkan dan dilakukan oleh bangsa Indonesia.
1 komentar:
mbak...masih terus aktif nulis di blog ya??aku malah baru buka kembali ini n lagi2 bikin blog baru hehehe....
Posting Komentar