Bahasa Jawa memiliki banyak dialek, seperti dialek Surakartaan, Yogyakartaan, Semarangan, Banyumasan, Cirebonan, Jawa Timuran, Banyuwangian, dan sebagainya. Bahasa Jawa yang berkembang di wilayah Cilacap Barat termasuk dalam bahasa Jawa logat/dialek Banyumasan, yang terkenal dengan cara bicaranya yang belepotan, pating pecothot, dalam logat bahasa ngoko lugu (Jawa Dwipa) atau Jawa Koek (Jawa Kuno), yang oleh orang “daerah wetan berbahasa bandhekan” disebut dengan bahasa ngapak.
Pada sarasehan bulan November 1998 tentang Citra Kota Yogyakarta di Gedung Pusat Informasi Tata Bangunan Yogyakarta, depan Kampus IAIN (Sekarang UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Dr. Damardjati Supadjar, ahli filsafat Jawa Sastra Gendhing dari UGM, mengajukan pertanyaan “Lebih Tua mana antara priyayi Sala dengan orang Banyumas?” para peserta tak ada yang menjawab, maka dijawablah oleh beliau “Sebenarnya, Jawabannya sangat mudah, yaitu lebih tua orang Banyumas. Dibuktikan dengan bahasa yang digunakan orang Banyumas yaitu bahasa Jawadipa yang sudah ada sebelum Aji Saka datang ke tanah Jawa tahun 78 Masehi. Dalam bahasa Jawa Kuno, mengucapkan huruf ‘a’ ya ‘a’” (Boediono Herusatoto, 2008, hlm. 122-123)
Bahasa Jawa dialek Banyumasan sendiri memiliki sub-sub dialek yang terintegrasi dalam wilayah-wilayahnya sendiri, yaitu dialek Tegal, dialek Pemalang, dialek Kebumenan, dialek Banyumasan. Terkait dengan wilayah Cilacap Barat yang merupakan daerah perbatasan Propinsi Jawa Tengah (Kabupaten Cilacap) dengan Propinsi Jawa Barat (Kabupaten Ciamis dan Kota Banjar), bahasa yang digunakan adalah dialek Banyumasan dan Bahasa Sunda-Ngapak. Daerah yang tidak berbatasan langsung dengan wilayah Jawa Barat, antara lain Sidareja, Kedungreja, Cipari, menggunakan bahasa jawa, sedangkan wilayah yang berbatasan langsung, antara lain Patimuan, Majenang, menggunakan bahasa sunda ngoko-jawa ngapak.
Niels Mulder menyatakan bahwa beberapa faktor yang mengancam integritas budaya jawa, seperti turisme, mobilitas sosial dan geografis, naiknya standar kehidupan dan polarisasi sosial ekonomi yang makin lebar, maka akan jelas bahwa kondisi ideal telah diciptakan bagi pembangunan budaya massa modern yang ditandai oleh ketakacuhan sosial, konsumerisme, dan sikap masa bodoh. Bahasa dan sastra Jawa memiliki peran the right to self determination yaitu duatu definisi yang memberikan pengertian terhadap kekuatan lokal dalam menentukan kehidupan kulturalnya. Modal yang diperlukan adalah kepekaan kultural dan rasa kemanusiaan untuk memahami situasi dan apresiasi warga masyarakat daerah. (Arif Budi Wurianto, “Bahasa dan sastra Jawa: Sebuah kearifan lokal dan sumbangannya terhadap upaya pembinaan budi pekerti dan pendidikan kepribadian bangsa di sekolah-sekolah daerah (Jawa) hlm. 245-259)
Perkembangan bahasa jawa di daerah Cilacap Barat selanjutnya, terjadi pengglobalan bahasa terkait dengan mobilitas sosial di daerah ini. Kemiskinan di wilayah perbatasan ini, memaksa penduduknya untuk pergi ke luar kota, misalnya Jakarta, Bandung, Surabaya, bahkan ke luar negeri. Setelah beberapa lama merantau, mereka datang dengan bahasa dan penampilan baru mereka, maka mulailah pencampuradukkan bahasa di daerah ini. Bahkan, banyak pula yang datang dari wilayah wetan (DIY, Semarang, Temanggung, Kutoarjo) yang menetap dan bekerja sebagai guru ataupun pegawai pemerintah. Inilah yang menyebabkan tidak “nggenahnya” bahasa Jawa di wilayah ini. Saat ini, hampir mayoritas orang tua telah menggunakan bahasa Indonesia dalam keluarganya, bahkan di setiap pertemuan-pertemuan RT, RW, maupun Kampung juga telah digunakan bahasa Indonesia. Tidak anehlah ketika bahasa Jawa (terutama krama alus, krama inggil), tidak dikenal oleh mayoritas generasi muda di daerah ini.
Pengajaran Bahasa Jawa di Cilacap Barat
Pengajaran Bahasa Jawa di Cilacap Barat, dimasukkan sebagai materi Muatan Lokal di SD, SMP, dan SMA. Ketiga jenjang tersebut memiliki tingkatan pembelajaran yang berbeda. Di SD, pembelajaran Bahasa Jawa masih sebatas pengenalan nama-nama dalam bahasa Jawa, bacaan-bacaan pendek, dengan kata lain masih sebatas pengenalan dasar Bahasa Jawa. Di SMP, materi Bahasa Jawa mulai mendalam. Siswa telah diperkenalkan dengan bacaan-bacaan panjang dan menulis aksara Jawa yang lebih panjang. Di SMA, materi lebih mendalam lagi, antara lain dengan bacaan Jawa yang lebih panjang, menentukan pikiran utama dari bacaan berbahasa Jawa, dan menulis cerita berbahasa Jawa dan berhuruf Jawa.
Untuk materi pengajaran, sekolah-sekolah di Cilacap bagian Barat memiliki kurikulum yang sama dengan daerah lain di Jawa Tengah, sehingga materi yang diajarkan juga sama. Namun ada sisi menarik dalam pengajaran Bahasa Jawa di Cilacap bagian Barat. Menarik karena di Cilacap bagian Barat, ada dua dialek yang digunakan, yaitu dialek Banyumasan dan dialek Banyumas-Sunda, serta perbedaan dalam beberapa kosakata antara bahasa jawa standar dengan bahasa jawa setempat. Dalam mengajarkan Bahasa Jawa di daerah perbatasan seperti Cilacap bagian Barat, guru harus memiliki toleransi yang besar terhadap bahasa jawa yang telah lama hidup di daerah ini.
1. Pengajaran Bahasa Jawa di Cilacap Barat dilakukan untuk mengenalkan dan menginternalisasikan kembali nilai-nilai budaya Jawa dalam kehidupan generasi muda di Cilacap Barat, dengan kata lain menanamkan kembali nilai-nilai budi pekerti yang terkandung dalam nilai-nilai budaya Jawa.
2. Pengajaran Bahasa Jawa di SD, SMP, SMA, menggunakan kurikulum yang sama dengan daerah lainnya.
3. Dalam Penyampaiannya, guru Bahasa Jawa menyesuaikan dengan dialek setempat, demikian pula dengan daerah-daerah yang menggunakan bahasa Sunda-Jawa. Meskipun terkadang guru Bahasa Jawa itu berasal dari “daerah wetan”, dan penyampaiannya pun dengan “bandhek”, siswa tetap mengikutinya dengan dialek “ngapak”nya.
4. Dalam pengajaran Bahasa Jawa, yang terpenting adalah tersampaikannya pelajaran budi pekerti yang terintegrasi dalam pelajaran bahasa Jawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar