Pagi ini aku berjalan menyusuri kampung kecil di samping rumah. Sebuah kampung pemulung yang dipenuhi dengan karung-karung besar penuh dengan botol plastik. Kampung itu berada di pinggir sungai kecil, yang juga dipenuhi oleh sampah-sampah, hingga menyebarkan aroma tidak sedap di pagi hari. Banyak hal yang berkecamuk dalam hati melihat pemandangan "indah" ini, satu sisi aku gembira karena akhirnya bisa melihat wajah Jakarta -selain macet, yang setiap hari kualami, terutama jika pulang kerja- yang selama ini hanya bisa kusaksikan melalui layar TV.
--Back to Topic,,,Aku berjalan sembari mengumpulkan keberanian, apalagi kondisi jalan sepi bangeett,,dan wilayah yg kulewati sama sekali belum kujamah. Ternyata di Jakarta, hr Sabtu sama dengan Minggu, buktinya pukul 06.00 masih seperti jam 05.00, hanya tampak beberapa angkot yang berseliweran, itu pun masih dengan penumpang yang tak lebih dari lima orang. Tapi keinginan untuk melihat keadaan di skitar kampung pemulung, mengalahkan rasa takut itu. Aku kembali berjalan tanpa menghiraukan tatapan aneh beberapa pejalan kaki yang sesekali mencuri pandang ke arahku -waktu itu aku berpikir, mungkin ada yang salah dengan pakaian (he...kebiasaan demam panggung)-. Setibanya di sebuah gang kecil, aku pun masuk di dalamnya, harap2 cemas tak kesasar, karena kondisi gangnya sangat sempit, mungkin ini yg disebut gang senggol, hanya muat utk satu orang saja. Untungnya masih pagi, jadi tak sering berhenti untuk memberikan kesempatan orang lain lewat lebih dulu. Aku terus berjalan menyusuri gang kecil nan sempit ini, sembari berpikir akankah kedekatan bangunan berpengaruh kepada kedekatan emosional?? Jika iya, mengapa kota metropolitan tetap saja bergejolak, banyak tawuran, perampokan, dan kriminalitas lainnya. Tapi sepertinya hipotesis pertama tentang kedekatan fisik tsb terbantahkan dengan perilaku yang ditemukan kemudian, yaitu tersebarnya virus individualisme di tempat ini. Nah, jika sudah muncul virus ini, maka bersiaplah untuk terlibat dalam konflik, baik konflik dalam keluarga inti, maupun antar kelompok masyarakat.
Yah,beberapa minggu di kota ini, sudah sangat merasakan virus individualismenya -semoga tidak menjangkitiku-. Dari mulai berangkat kampus hingga pulang lagi, virus ini selalu mengikuti, seperti hendak menerkam orang2 baru yang enggan terjangkiti. Contoh kecil di jalanan, tak satupun pengguna jalan yang mau berbagi, mereka seolah ingin menguasai jalanan itu sendiri. Akibatnya, tak heran jika angka kecelakaan di Jakarta meningkat. Ini lah penyebabnya, egoisme tinggi yang enggan menganggap mengalah adalah kalah. Di lingkungan kerja pun demikian, aroma persaingan sangat kental, baik itu junior vs junior, senior vs senior, maupun junior vs senior. Meski tak tampak jelas, tetapi sudah cukup jelas melalui perilaku yang ditampakkan.
----Back to topic (he..he..he..sukanya ngelantur),,Perjalanan menyusuri gang sempit itu berlanjut, semakin ke dalam, semakin gelap dan sempit jalan yang harus dilalui, hingga kebingungan menyergap. Maka, ketika bertemu dengan seorang ibu, aku bertanya, apakah ini jalan buntu???Karena sama sekali tak kulihat jalan yang bisa kulewati. Dan ajaib,,ibu itu menunjukkan sebuah jalan yang sangat sempit dan gelap, panjangnya sekitar 7 meter, dan parahnya di ujung jalan itu pun tembok lagi, dan (mungkin) jalan selanjutnya juga kondisinya sama dengan jalan itu. Haduh2,,kubayangkan ketika aku berjalan,ada tikus, ular, atau binatang lain yg lewat, dan aku harus ikhlas menginjaknya, wah.....enggak bangeeettt...ANd then kuputuskan bt ga ngelanjutin petualangan ini. Aku berbalik dan mencari jalan yang "lebih baik", n akhirnya kutemukan jalan itu, dan ternyata jalan itu bermuara pada sebuah jalan di pinggir sungai yang beraroma tdk sedap itu..Yah, terpaksa sepanjang jalan kutahan napas -krn ga enak jika tutup hidung sembari berjalan, apalagi banyak orang yg sudah bersiap beraktivitas di sekitar jalan yg kulalui-. Kupercepat langkah dan berharap lekas sampai di rumah, perut sudah mulai tdk bs berkompromi.Eeeeee,,di tengah jalan, kujumpai seorang ibu yang asyik bercengkrama dengan kawannya sembari menyuapi anaknya,,di pinggir kali itu,,dan makanan yg sedang mjd obyek itu adalah..bubur ayam...Wah,,,,,inilah Jakarta...Tak jauh dr "peristiwa" itu, ada seorang bapak setengah baya yg sedang membuang sampah di kali,,dan ada seorang pemulung yg mengais sampah di sungai itu,,Haduh2,,,inilah Jakarta,,Inilah kehidupan pengais sampah dan inilah pengalaman yg aku selalu ingin mengabadikannya dan membagi dgn pembaca semua,,, sayang kondisi blm memungkinkan --ad kesulitan finansial,,jd blm bs membeli sbuah kamera---he...tapi semoga bisa tergambar mengenai hal ini..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar