Lima tahun yang lalu, ketika pertama kali aku meninggalkan desaku, selalu ada perasaan bangga terhadap desa ini. Bangga karena tempat kelahiranku memiliki nuansa yang religius, slalu bergotongroyong, menjunjung tinggi rasa kekeluargaan dan memiliki alam yang luar biasa segar. Tetapi, semua itu terasa hilang setiap aku pulang, aku merasa tidak memiliki desaku kembali. Aku tak lagi mengenal orang-orang yang tinggal di sana.Tanah kelahiranku menjadi asing bagiku.
Perasaan kehilangan terhadap situasi dulu semakin bertambah, manakala terdengar kabar betapa berubahnya kehidupan di desaku. Sikap keramahtamahan, kesopanan, dan kekeluargaan itu berganti menjadi sikap merusak, kegarangan, dan individualistis. Beberapa waktu yang lalu aku mendengar kabar bahwa telah terjadi kejahatan seksual yang dilakukan kepada anak perempuan usia 5 tahun, dan tragisnya pelaku adalah teman laki2 sepermainannya yang baru berumur 6 tahun. Malangnya, selaput dara anak perempuan yang juga bisu itu telah sobek karena peristiwa ini. Ada lagi kasus tersebarnya video porno dua anak SMA Swasta yang berbuat ML di dalam kamar, seorang anak SMP yang diperkosa 8 laki2 di salah satu tempat wisata (Sekarang anak tersebut terkena gangguan jiwa dan dirawat di RSJ), kasus pencurian mobil yang melibatkan anak seorang guru (hingga kini belum selesai). Sebenarnya masih banyak kasus-kasus lain yg lebih mencengangkan, seperti insest (hubungan sedarah, baik antara ayah-anak, maupun kakak-adik), gay-lesbian, dan sebagainya. Desaku kini benar-benar berubah, aku sudah tidak lagi mengenalnya. Entah apa yang terjadi dengan desaku itu, ketentraman desa yang dulu sempat aku rasakan pada bulan Ramadlan selama bertahun-tahun, kini hilang. Sudah tak ada lagi anak-anak kecil yang bermain pada sore hari setelah ia mengaji, tak ada lagi lantunan ayat suci Al Qur'an pada malam hari di bulan Ramadlan, dan masih banyak momen2 kebersamaan yang dulu pernah ada di desa itu.
Fenomena yang terjadi, membuatku bertanya2, apa yang membuat manusia di desaku berubah? Hingga aku menemukan jawabannya bahwa desaku telah terdesak arus globalisasi, hingga ia tak bisa menahannya lagi. Masuknya televisi kabel, telepon selular, internet, media massa, dan beberapa orang yang datang dari kota dengan budaya kota, kuanggap sebagai penyebab utama hilangnya jati diri manusia di desaku. Mereka telah berhasil mengobrak-abrik kehidupan di desaku dengan merusak remaja-remaja dan memperlakukan mereka sebagai sasaran empuk untuk mengeruk keuntungannya sendiri. Entah apa yang ada di pikiran-pikiran orang-orang tersebut hingga mereka tega merusak tatanan yang telah mapan dan hidup lama di desaku, dan entah bagaimana pula cara mereka hingga sukses menyelesaikan misinya. Mereka merusak tatanan yang baik itu. Mereka mengganti rasa gotongroyong dan ikhlas dengan sikap materialistis.
Beberapa hari ini aku sempat berpikir untuk merombak kembali tatanan yang dibuat oleh para pendatang itu. Aku mencari cara untuk menghilangkan paradigma materialistis yang terlanjur melekat dalam diri dan setiap tindakan warga di desa. Namun, entah bagaimana itu semua dapat terwujud. Semoga ALlah menunjukkan jalan yang tepat dan benar, hingga ketentraman desaku kembali muncul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar