Rabu, 13 Juli 2011

INVISIBLE SIGN FROM THE LITTLE GIRL

Seorang gadis kecil berlari-lari, sambil terengah-engah, diambilnya satu persatu “emas plastik”, meski harus berebut dengan teman sebayanya. Panas terik matahari dan rasa lelah yang luar biasa setelah seharian bersekolah, tak membuatnya malas untuk mencari sesuap nasi.
Remaja kecil itu bernama Tari, usianya 13 tahun. Ia tinggal dengan neneknya di sebuah gubuk kecil. Ayahnya meninggal sejak usianya 10 tahun, sedangkan ibunya jadi TKW ke Hongkong, yang hingga lima tahun ini, tidak pernah memberi kabar. Entahlah, sudah lama Tari melupakan ibunya, karena ia hanya berpikir tentang cara untuk mencari sesuap nasi agar ia bisa bertahan hidup bersama neneknya yang sudah uzur. Tetapi, Tari tetap tidak melupakan sekolahnya, karena ia punya mimpi untuk menjadi kaya raya, punya rumah gedung, mobil bagus, baju bagus. Ya, cita-cita Tari sangat sederhana, menjadi kaya raya, that’s simple dream.
Di sela-sela kesibukannya mencari “emas plastik”, Tari juga berkeliling kampung guna menjajakan camilan yang dibuat oleh neneknya. Kedua kegiatan ini selalu dilakukannya setiap hari tanpa keluhan. Ia selalu melepaskan senyum manisnya setiap menawarkan dagangan kepada tetangga, meski ia harus kelelahan karena ada puluhan rumah yang harus ia datangi, agar semua dagangannya laku terjual. Untuk pekerjaan ini, Tari memperoleh tambahan uang saku dari neneknya sebesar 3000, jika semua dagangannya terjual. Jika hanya separoh, Tari hanya memperoleh 1500. Uang itu digunakannnya untuk membeli keperluan pribadinya, karena sang nenek hanya bisa memberi makan. Kehidupan selama bertahun-tahun dilaluinya dengan patuh kepada sang nenek, hingga suatu peristiwa membuat hidupnya berubah drastis/ Sebuah peristiwa yang tidak selayaknya terjadi pada seorang gadis berusia 13 tahun.
Usia 13 tahun, adalah masa-masa “pubertas”, ketika seorang gadis mulai bersolek dan menebarkan pesonannya kepada lawan jenis. Begitu pula dengan tari, Ia mulai merapikan dirinya, memperbaiki penampilannya, hingga akhirnya ada seorang pemuda yang tertarik padanya. Tari yang masih “polos”, menerima cinta pemuda yang usianya terpaut 5 tahun itu, dan dimulailah sebuah cerita sedih yang seharusnya masih bisa dicegah.
Di sabtu sore, seperti remaja yang sedang kasmaran, Tari dan kekasihnya berjanji untuk bertemu dan pergi ke sebuah pantai. Tanpa menaruh rasa curiga pada kekasihnya, Tari menerima ajakan itu setelah sebelumnya berpamitan dengan neneknya, dengan sedikit berbohong bahwa kepergiannya ini bersama dengan teman-teman sekolahnya. Dan akhirnya sang nenek yang juga “polos” itu pun memperbolehkan cucu kesayangannya pergi ke pantai.
Pukul 03.00, Tari berjalan menuju tempat kekasihnya menunggu. Merekapun pergi menuju pantai dengan hati berbunga-bunga. Tiba-tiba, sang kekasih berhenti di sebuah tempat yang jauh dari keramaian, dengan berlasan “di sini saja dulu ya, kita istirahat dulu, setelah itu kita ke pantai”. Tanpa menaruh curiga, Tari hanya menganggukkan kepala.
Merekapun duduk di bawah pohon, di sebuah hutan, bercakap dan bercanda layaknya sepasang kekasih. Hingga tak terasa, malam semakin gelap/ Tiba-tiba dari kejauhan datang empat motor, yang membawa tujuh pemuda berhenti di tempatnya duduk. Awalnya, Tari merasa takut, tetapi setelah dilihatnya sang kekasih menyapa salah satu di antara mereka, ia kembali tenang. Tak lama kemudian, mereka pun ikut berkumpul dan mengobrol bersama Tari. Awalnya hanya obrolan dengan teman biasa, tetapi semua berubah ketika salah satu dari mereka mengeluarkan beberapa pil dan botol minuman keras. Tari mulai merasa tidak nyaman, apalagi ketika ia ditawari untuk mencobanya. Ditolaknya botol minuman yang disodorkan kepadanya, tetapi tiba-tiba salah satu di antara pemuda itu memegangnya dan memaksanya menenggak botol minuman. Tari terus memberontak dan mencoba berteriak, tetapi tiba-tiba kepalanya pusing. Ia hanya merasakan lemas, dan tak dapat menguasai tubuhnya, karena ada tangan-tangan yang memeganginya. Sejurus kemudian, Tari tak sadarkan diri, terakhir ia hanya merasakan sakit di alat vital dan payudaranya. Setelah itu, ia tak merasakan apapun,, hingga akhirnya ia terbangun dan melihat puluhan orang mengelilinginya.
Tari hanya berteriak dan menangis, tak seorangpun tahu apa yang telah terjadi pada gadis kecil ini, hingga kluarlah visum dokter yang menyatakan bahwa ia telah diperkosa oleh lebih dari satu orang. Tari tak bisa mengatakan apapun ketika polisi bertanya kronologi peristiwa yang dialaminya. Ia hanya bisa menangis, dan merasa ketakutan. Sang nenek pun hanya bisa menangis melihat kondisi cucunya, ia tidak mengira gadis kecilnya akan mengalami hal seperti ini. Apalagi, dokter menyatakan terjadi gangguan pada kejiwaannya. Akhirnya setlah disepakati oleh keluarga, Tari kecil akan dibawa ke sebuah RSJ untuk menyembuhkannya dari trauma.
Persoalan Tari adalah suatu invisible sign dari hancurnya negara atau bahkan dunia ini. Ya, akibat dari kesalahan orang tua yang hanya fokus terhadap pemenuhan kebutuan duniawi saja, si anak menjadi korbannya. Memang, ini bukan kesalahan langsung dari orang tua, tetapi peristiwa ini akan dapat dihindari apabila orang tua melindunginya, atau paling tidak lingkungan di sekitarnya seharusnya ikut melindunginya. Bayangkan apabila generasi muda seperti Tari atau pemuda yang "menggagahi" nya, yang saya yakin sangat banyak di negara dan dunia kita ini, menjadi penerus tongkat estafet kita, maka apakah yang akan terjadi dengan masa depan negara kita??? Naudzubillah.
Ada beberapa point yang bisa kita ambil dari persoalan ini, yaitu:
1. Grand design pola asuh orang tua yang saat ini beredar di dunia, yaitu materialisme, hedonisme, yang berarti kewajiban orang tua hanya untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan, hanya akan merusak masa depan anak, terutama masa depan moralnya. Jadi, sebaiknya setiap orang tua memiliki grand design nya sendiri dalam mendidik anak-anak mereka. Dan akan lebih baik, manakala para orang tua mencontoh Nabi Muhammad S.A.W., dalam mendidik anak-anaknya.
2. Telah menjamurnya sikap individualistis di kalangan masyarakat. Tidak hanya di kota, tetapi juga di desa (kasus Tari terjadi di sebuah desa kecamatan). Individualistis membuat tidak adanya sikap saling memiliki, saling mengayomi, dan saling menjaga, di antara anggota masyarakat. Ini merupakan akibat dari globalisasi, yang mengikis Nilai-nilai Agama dan Kultur yang telah lama hidup di masyarakat Indonesia. Dalam kasus Tari, individualistis tampak pada sikap cuek masyarakat terhadap seorang anggota masyarakatnya yang hidup tidak berkecukupan, meskipun mereka mengetahuinya.
3. Kurangnya peran pemuka agama dalam mengentaskan moral dan kemiskinan masyarakat. Saat ini, kita bisa melihat bahwa sangat sedikit ulama-ulama yang terjun langsung ke masyarakat dan ikut mengentaskan moral, apalagi mengentaskan kemiskinan. Bahkan, saat ini, ada trend da'i bayaran, yaitu da'i yang akan memberi ceramah apabila dibayar dengan tarif tertentu, yang tentu saja berjuta-juta.
4. Tentu saja, Persoalan Tari juga merupakan contoh kegagalan pemerintah dalam memimpin rakyatnya. Seharusnya, persoalan ini adalah tugas dari pemerintah daerah. Tetapi, tentu saja mereka tutup mata, karena ini dianggapnya adalah kesalahan pribadi si anak dan orang tuanya. Tetapi, jika ditelaah lebih lanjut, persoalan ini berawal dari kemiskinan yang dialami orang tua Tari, hingga akhirnya ibunya memilih jadi TKW, dan tidak memberikan perlindungan fisik dan psikis kepada anaknya. Ada sebuah kasus di masa pemerintahan Khalifah Umar Bin Khattab yang berkeliling kota untuk memeriksa kondisi rakyatnya. Ternyata, di malam itu ia mendengar tangis anak kecil, lalu diintiplah rumah itu. Maka terkejutlah Khalifah Umar ketika menyaksikan seorang ibu yang sedang memasak batu dalam periuk, sembari berusaha menenangkan anak-anaknya. Kemudian, khalifah Umar pulang dan membawakan sekarung beras kepada ibu tersebut. Inilah, contoh pemimpin sesungguhnya. Khalifah Umar menyadari bahwa sebagai pemimpin, pasti kelak ia akan dimintai pertanggungjawaban. Tapi sayang sekali, saat ini sulit sekali mencari pemimpin yang benar-benar amanah dan mencintai rakyatnya.
Sahabatku, persoalan Tari ini sebenarnya masih bisa dicegah apabila kita mengamati point-point di atas. Apabila ada kesadaran dari orang tua, lingkungan, ulama, dan pemerintah terhadap pentingnya menjaga moral dan spiritual para generasi muda. Karena, di pundak merekalah kelak tongkat estafet kita diberikan. Apalagi dalam Hadist Rasulullah SAW bersabda, ada tiga hal yang tidak akan terputus amalannya, dan salah satunya adalah anak yang shaleh dan amal jariyah.
LET'S SAVE OUR CHILDREN!!!!!

Ly

Tidak ada komentar: